Sabtu, 26 Maret 2016

Psikoterapi : Person Centered Therapy

PERSON CENTERED THERAPY

Pengertian Person Centered Therapy
            Person Centered Therapy ialah terapi yang dikembangkan oleh Carl Roger yang didasarkan kepada asumsi bahwa klien merupakan ahli yang paling baik bagi dirinya sendiri dan merupakan orang yang mampu memecahkan masalahnya sendiri. Tugas terapis adalah mempermudah proses pemecahan masalah mereka sendiri. Terapis juga tidak mengajukan pertanyaan menyelidik, membuat penafsiran, atau mengajukan serangkaian tindakan. Istilah terapis dalam pendekatan ini lebih dikenal dengan istilah sebagai fasilitator (Atkinson dkk., 1993).



            Berdasarkan sejarahnya, terapi yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa perkembangan. Pada mulanya Rogers mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive counseling pada tahun 1940. Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor atau directive counseling dan terlalu tradisional. Pada 1951, Rogers mengubah namanya menjadi client-centered therapy sehubungan dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Pada tahun 1957 Rogers mengubah sekali lagi pendekatannya menjadi konseling yang berpusat pada person atau yang dikenal dengan person centered therapy, yang memandang klien sebagai partner dan perlu adanya keserasian pengalaman baik pada klien maupun terapis. Terapi ini memperoleh sambutan positif dari kalangan ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat berkembang secara pesat. Terapi ini cocok untuk orang-orang dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan dalam dirinya, mereka biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan dikehidupannya, sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya.

Tujuan dari Person Centered Therapy
            Tujuan dari person centered  therapy adalah membantu individu menemukan konsep dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling, di mana konselor mendudukan konseli sebagai orang yang berharga, orang yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif dengan penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard). Bagi Rogers pada dasarnya tujuan terapi ini adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif sebagai usaha untuk membantu klien menjadi pribadi yang utuh (fully functioning person), yaitu pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan dirinya. Tujuan dasar terapi ini kemudian diklasifikasikan kedalam 4 konsep inti tujuan terapi, yaitu (Corey, 2009) :
  1. Keterbukaan pada pengalaman : Klien diharapkan dapat lebih terbuka dan lebih sadar dengan kenyataan pengalaman mereka. Hal ini juga berarti bahwa klien diharapkan dapat lebih terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan mereka serta bisa menoleransi keberagaman makna dirinya.
  2. Kepercayaan pada organisme sendiri : Dalam hal ini tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Biasanya pada tahap-tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Namun dengan meningkatnya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
  3. Tempat evaluasi internal : Tujuan ini berkaitan dengan kemampuan klien untuk instropeksi diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Klien juga diharapkan untuk dapat menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
  4. Kesediaan untuk menjadi satu proses : Dalam hal ini terapi bertujuan untuk membuat klien sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.

Sedangkan secara terinci tujuan dari Person Centered Therapy adalah sebagai berikut :
  • Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologi yang dihadapinya.
  • Menumbuhkan kepercayaan pada diri klien bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengambil satu atau serangkaian keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain.
  • Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk belajar mempercayai orang lain dan memiliki kesiapan secara terbuka untuk menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.
  • Memberikan kesadaran kepada klien bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari suatu lingkup sosial budaya yang luas. Meskipun demikian, ia tetap masih memiliki kekhasan atau keunikan tersendiri.
  • Menumbuhkan suatu keyakinan kepada klien bahwa dirinya terus tumbuh dan berkembang.

Ciri-Ciri Person Centered Therapy
            Menurut Rogers (dalam Corey, 2009) menguraikan ciri-ciri yang membedakan pendekatan Person Centered Therapy dengan pendekatan-pendekatan lain. Pendekatan Person Centered Therapy difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Pendekatan terapi ini lebih menekankan pada dunia fenomenal klien, yaitu dengan empati dan usaha untuk memahami klien. Dengan empati yang cermat dan usaha untuk memahami kerangka acuan internal klien, terapis memberikan pelatihan terutama pada persepsi diri klien dan persepsinya terhadap dunia. Prinsip-prinsip terapi Person Centered Therapy diterapkan pada individu yang fungsi psikologisnya berada pada taraf yang relatif normal maupun pada individu yang derajat penyimpangan psikologisnya lebih besar. Terapi Person Centered Therapy memasukkan konsep bahwa fungsi terapi adalah tampil langsung dan bisa dijangkau oleh klien serta memusatkan perhatian pada pengalaman di sini- dan –sekarang yang tercipta melalui hubungan antara klien dan terapis. terapi Person Centered Therapy bukanlah sekumpulan teknik dan juga bukan suatu dogma.

Teknik-teknik dari Person Centered Therapy
Terdapat tiga sikap dasar konselor, mencakup :
  1. Congruence or genuine à Konsep kesejatian yang dimaksud ialah bagaimana konselor tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terintegrasi selama pertemuan konseling. konselor tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan-perasaan secara impulsif terhadap  konseli. Pendekatan person centered therapy berasumsi bahwa jika konselor selaras atau menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan konseli, maka proses konseling bisa berlangsung.
  2. Unconditional positive regardand acceptance à Perhatian tak bersayarat tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku konseli sebagai hal yang buruk atau baik. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap konseli, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung perubahan pada konseli.
  3. Accurate empathic understanding à Sikap ini merupakan sikap yang krusial, dimana konselor benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif konseli. Tugas konselor adalah membantu kesadaran konseli terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Rogers percaya bahwa apabila konselor mampu menjangkau dunia pribadi konseli sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh konseli, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari konseli, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi (Corey, 2009).

Tahap-Tahap Person Centered Therapy
Jika dilihat dari apa yang dilakukan terapis dapat dibuat dua tahap, yaitu :
  • Pertama à tahap membangun hubungan terapeutik, menciptakan kondisi fasilitatif dan hubungan yang substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan, penghargaan, dan positif tanpa syarat.
  • Kedua à tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas hubungan konseling dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.

Sedangkan jika dilihat dari segi pengalaman klien dalam proses hubungan terapi dapat dijabarkan bahwa proses terapi dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu :
  1. Klien datang ke terapis dalam kondisi tidak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi penyesuaian diri yang tidak baik.
  2. Saat klien menjumpai terapis dengan penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang dialami, dan menemukan jalan atas kesulitan-kesulitannya. Perasaan yang ada pada klien adalah ketidakmampuan mengetasi kesulitan hidupnya.
  3. Pada awal terapi klien menunjukan perilaku, sikap, dan perasaannya yang kaku. Dia menyatakan permasalahan yang dialami kepada terapis secara permukaan dan belum menyatakan pribadi yang dalam. Pada awal-awal ini klien cenderung mengeksternalisasi perasaan dan masalahnya, dan mungkin bersikap defensif.
  4. Klien mulai menghilangkan sikap dan perilaku, membuka diri terhadap pengalamannya., dan belajar untuk bersikap lebih matang dan lebih teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan pengalaman yang didistorsinya.

Peran dan Fungsi Terapis dalam Person Centered Therapy
Rogers juga menerangkan bahwa peran konselor Person Center Therapy adalah sebagai berikut :
  • Menyediakan konsisi terapeutik agar klien dapat menolong dirinya dalam rrangka mengaktualisasikan dirinya.
  • Memberikan penghargaan yang positif yang tidak terkondisi bagi klien.
  • Mendengarkan dan mengobservasi lebih jauh untuk mendapatkan aspek verbal dan emosional klien.
  • Memberikan pemahaman empatik untuk melihat kekeliruan dan inkongruen yang dialami oleh klien
  • Peduli dan ramah.

§ Dalam konseling ini ada beberapa fungsi yang perlu dipenuhi oleh seorang terapis, mencakup : 
  • Menciptakan hubungan yang permisif, terbuka, penuh pengertian dan penerimaan agar klien bebas mengemukakan masalahnya.
  • Mendorong kemampuan klien untuk melihat berbagai potensinya yang dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan.
  • Mendorong klien agar ia yakin bahwa ia mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
  • Mendorong klien agar ia mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan yang telah ditetapkannya.
Kelebihan dan Kelemahan dari Person Centered Therapy
Kelebihan dari Person Centered Therapy, yaitu :
  1. Sifat keamanan. Individu dapat mengexplorasi pengalaman-pengalaman psikologis yang bermaknya baginya dengan perasaan aman.
  2. Dapat diterapkan pada setting individual maupun kelompok.
  3. Memberikan peluang yang lebih luas terhadap konseli untuk didengar.
  4. Konseli memiliki pengalaman positif dalam konseling ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya.
  5. Konseli merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka didengarkan dan tidak dijustifikasi.

  Sedangkan, kelemahan dari Person Centered Therapy, yaitu :
  1. Sulit bagi konselor untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal.
  2. Konseling menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup.
  3. Minim teknik untuk membantu konseli memecahkan masalahnya.
  4. Tidak cukup sistematik, terutama yang berkaitan dengan konseli yang kecil tanggungjawabnya.
  5. Memungkinkan sebagian konselor menjadi terlalu terpusat pada konseli sehingga melupakan keasliannya.
  6. Kesalahan sebagian konselor dalam menerjemahkan sikap-sikap yang harus dikembangkan dalam hubungan konseling.

Daftar Referensi :
  • Atkinson, R.L., Atkinson, R.C. dan Hilgard, E.R. (1993). Pengantar psikologi. Alih bahasa: Nurjanah Taufiq. Jakarta: Erlangga.
  • Corey, Gerald. (2009). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
  • Komalasari, Gantina. Wahyuni, Eka. Karsih. (2011). Teori dan teknik konseling. Jakarta: Indeks.
  • Muthi’ah, Anisatul & Umar Fadhilah, Nur. (2013). Makalah pendekatan person centered therapy. Malang.
  • Riyanti, Dwi. B.P dan Hendro Prabowo. (1998). Seri diklat kuliah: psikologi umum 2. Jakarta: Gunadarma.


Zahara Safitri
19513648
3PA05

Minggu, 20 Maret 2016

Psikoterapi : Terapi Humanistik Eksistensial

TERAPI HUMANISTIK EKSISTENSIAL

§   Pengertian Terapi Humanistik Eksistensial

            Terapi humanistik eksistensial adalah terapi yang sesuai dalam memberikan bantuan kepada klien. Karena teori ini mencakup pengakuan eksistensialisme terhadap kekacauan, dan keputusasaan manusia kedalam dunia tempat dia bertanggung jawab atas dirinya. 



          Terdapat beberapa tokoh dalam humanistik eksistensial, salah satunya adalah Abraham Maslow menyebutnya sebagai teori holistic-dinamis karena teori ini menganggap bahwa keseluruhan dari seseorang termotivasi oleh satu atau lebih kebutuhan dan orang memiliki potensi untuk tumbuh menuju kesehatan psikologis, mencakup :


                 Terapi eksistensial memusatkan bahwa manusia tidak bisa melarikan diri dari kebebasan, dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu saling berkaitan. Dalam penerapan-penerapan terapeutiknya, pendekatan eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada asumsi-asumsi filosofis yang melandasi terapi. Pendekatan eksistensial-humanistik menyajikan suatu landasan filosofis bagi orang-orang dalam hubungan dengan sesamanya yang menjadi ciri-khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha membantu individu dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan.

§   Tujuan Terapi Humanistik Eksistensial        
            Tujuan mendasar eksistensial humanistik adalah membantu individu menemukan nilai, makna, dan tujuan dalam hidup manusia sendiri. Juga diarahkan untuk membantu klien agar menjadi lebih sadar bahwa mereka memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak, dan kemudian membantu mereka membuat pilihan hidup yang memungkinkannya dapat mengaktualisasikan diri dan mencapai kehidupan yang bermakna.

§  Konsep Utama Terapi Humanistik Eksistensial
Konsep-konsep dalam terapi Humanistik Eksistensial menurut Corey, yaitu ;
a.       Kesadaran Diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
b.      Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (non-being). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesasaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial yang juga merupakan bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
c.       Penciptaan Makna
Manusia itu unik dalam arti bahwa ia berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati sendirian pula). Walaupun pada hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi, keterasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.

§   Tahap-tahap  dan Teknik Pelaksanaan Terapi Humanistik Eksistensial
            Tidak seperti kebanyakan pendekatan terapi, pendekatan eksistensial-humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Metode-metode yang berasal dari terapi Gestalt dan analisis transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam pendekatan eksistensial humanistik. Terdapat tiga tahap yang dapat dilakukan oleh terapis dalam terapi humaniatik eksistesial, antara lain :
1.  Tahap Pendahuluan
     Konselor membantu klien dalam mengidentifikasi dan mnegklarifikasi asumsi mereka terhadap
dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercemin pada eksistensial mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka,
2. Tahap Pertengahan
  Klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dan sistem mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
3. Tahap Akhir
  Berfokus untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupannya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaan kebebasan pribadinya.

§   Fungsi dan Peran Terapis dalam Terapi Humanistik Eksistensial
           Terapis dalam terapi humanistik eksistensial mempunyai tugas utama, yaitu berusaha untuk memahami klien sebagai sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Dimana teknik yang digunakannya itu selalui mendahului suatu pemahaman yang mendalam terhadap kliennya. Prosedur yang digunakan bisa bervariasi, tidak hanya dari klien yang satu ke klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama.

§  Kekurangan dan Kelebihan Terapi Humanistik Ekstensial
a.       Kelebihan :
ØTeknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
Ø  Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri.
Ø  Memanusiakan manusia.
Ø Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.
Ø Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa.
b.      Kelemahan :
Ø  Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal.
Ø  Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas.
Ø  Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan 
     ditentukan oleh klien sendiri) dan memakan waktu lama.


Daftar Referensi :
Ø       Corey, G. (2009). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Ø  Misiak, H. (2005). Psikologi fenomenologi, eksistensial dan humanistik. Bandung: Rafika Aditama.
Ø        Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 3. Kanius: Yogyakarta.
Ø       Lubis, L.N. (2011). Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ø         file:///C:/Users/User/Documents/humanistik%20eks.pdf

Nama   : Zahara Safitri
NPM   : 19513648
Kelas   : 3PA05


Minggu, 13 Maret 2016

Psikoterapi : Terapi Psikoanalisis

TERAPI PSIKOANALISIS
(SIGMUND FREUD)
    
     Dasar dari terapi psikoanalisis adalah konsep dari Sigmund Freud dan beberapa pengikutnya. Tujuan dari psikoanalisis adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari serta mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang digunakan untuk mengendalikan kecemasan. Apabila motif dan rasa takut yang tidak disadari telah diketahui maka hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara yang lebih rasional dan realistis. Freud meringkas tujuan psikoterapi dengan berkata “Dimana ada id, di situ akan ada ego”, maksudnya adalah psikoanalisis dapat membantu memancarkan kesadaran (yang diwakilkan oleh ego sadar) pada pekerjaan-pekerjaan id. Namun, Freud tidak mengharapkan bahwa klien harus berusaha menyadari semua bahan yang direpresikan. Tujuannya adalah hanya untuk menggantikan tingkah laku defensif dengan tingkah laku yang lebih adaptif. Dengan berbuat demikian, klien dapat menemukan kepuasaan tanpa menghukum dirinya sendiri atau orang lain.


     Dalam bentuknya yang asli, terapi psikoanalisis bersifat intensif dan panjang lebar. Terapis dan klien umumnya bertemu selama 50 menit beberapa kali dalam seminggu sampai beberapa tahun. Oleh karena itu agar dapat lebih efisien, maka pertemuan dapat dilakukan dengan pembatasan waktu dan penjadwalan waktu yang tidak terlalu sering (Atkinson dkk., 1993).
*      Konsep-Konsep Utama  Dalam Terapi Psikoanalisis :
a.                  Struktur Kepribadian :
-          Id : Tidak memiliki kontak yang nyata dengan dunia nyata, id berfungsi untuk memperoleh kepuasan sehingga disebut sebagai prinsip kesenangan.
-          Ego : Disebut juga sebagai prinsip kenyataan. Ego berhubungan langsung dengan dunia nyata, ego juga memiliki peran untuk mengambil keputusan dalam kepribadian. Ego menjadi penengah atau penyeimbang antara id dan superego.
-          Super Ego : Disebut sebagai prinsip ideal. Kepribadian yang terlalu didominasi oleh super ego akan merasa selalu bersalah, rasa inferiornya yang besar.

b.                 Kesadaran dan Ketidaksadaran
-          Konsep ketidaksadaran
Mimpi yang merupakan pantulan dari kebutuhan, kenginan dan konflik yang terjadi dalam diri, salah ucap atau lupa, sugesti pasca hipnotik, materi yang berasal dari teknik asosiasi bebas, materi yang berasal dari teknik proyektif.
c.                  Kecemasan
Merupakan suatu keadaan tegang atau takut yang mendalam akan peristiwa yang akan terjadi/belum terjadi. Kecemasan juga timbul akibat konflik dari id, ego, dan superego. Kecemasan terdiri dari 3 jenis yaitu kecemasan neurosis yaitu cemas akibat bahaya yang belum diketahui, kecemasan moral yaitu cemas akibat konflik antara kebutuhan nyata/realistis dan perintah superego, dan yang ketiga adalah kecemasan realistis yaitu kecemasan yang terkait dengan rasa takut misalnya kecemasan akan bahaya. Fungsinya memperingatkan apabila ada ancaman bahaya.
*      Tujuan Terapi :
a.    Mengungkapkan konflik-konflik yang dianggap mendasari munculnya ketakutan yang ekstrem dan reaksi menghindar yang menjadi karakteristik gangguan ini.
b.   Membentuk kembali struktur karakter individu dengan membuat pasien sadar akan hal yang selama ini tidak disadarinya.Focus pada upaya mengalami kembali pengalaman masa anak-anak.
*      Peran Terapis :
a.       Membantu pasien dalam mencapai kesadaran diri, kejujuran, keefektifan dalam melakukan hubungan personal dalam menangani kecemasan secara realistis.
b.      Membangun hubungan kerja dengan pasien, dengan banyak mendengar & menafsirkan
c.       Terapis memberikan perhatian khusus pada penolakan-penolakan pasien
d.      Mendengarkan kesenjangan & pertentangan pada cerita pasien
*      Teknik-Teknik Psikoanalisis
     Teknik-teknik psikoanalisis disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, serta untuk memahami makna dari beberapa gejala. Kemajuan teraupetik diawali dari pembicaraan klien kea rah katarsis, pemahaman, hal-hal yang tidak disadari, sampai dengan tujuan pemahaman masalah-masalah intelektual dan emosional. Untuk itu diperlukan teknik-teknik dasar psikoanalisis, yaitu :
a.       Asosiasi Bebas
     Asosiasi bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisis. Terapis meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan renungan-renungan sehari-hari, serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam pikiran. Caranya adalah dengan mempersilahkan klien berbaring di atas balai-balai atau sofa sementara terapis duduk dibelakangnya, sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas. Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis. Katarsis hanya menghasilkan perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan pada klien, tetapi tidak memainkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995).




b.      Penafsiran (Interpretasi)
     Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi, dan transferensi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan teraupetik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalangnya alam bawah sadar pada diri klien (Corey, 1995).
c.       Analisis Mimpi
     Analisis mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk nengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tidak dapat diterima oleh seseorang, sehingga akhirnya diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda.
     Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifest. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar (yang merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi manifest yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpin sebagaimana adanya. Sementara tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifest. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifest impian untuk mengungkap makna-makan yang terselubung (Corey, 1995).


d.      Resistensi
     Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut.
     Dalam proses terapi, resistensi bukanlah sesuatu yang harus diatasi, karena merupakan perwujudan dari pertahanan klien yang biasanya dilakukan sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan klien terhadap kecemasan, meski sebenarnya menghambat kemampuannya untuk menghadapi hidup yang lebh memuaskan (Corey, 1995).
e.       Transferensi
     Resistensi dan transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi psikoanalisis. Transferensi dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari satu objek ke objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari orangtua kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Seperti ketika seorang klien menjadi lekat dan jatuh cinta pada terapis sebagi pemindahan dari orangtuanya (Chaplin, 1995).
     Ketika dalam proses terapi ketika “urusan yang tidak selesai” (unfinished business) masa lalu klien dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh menyebabkan klien mendistorsi dan bereaksi terhadap terapis sebagaimana dia beraksi terhadap ayah/ibunya. Dalam hubungannya dengan terapis, klien mengalami kembali perasaan menolak dan membenci sebagaimana yang dulu dirasakan kepada orangtuanya. Tugas terapis adalah membangkitkan neurosis transferensi klien dengan kenetralan, objektivitas, keanoniman, dan kepasifan yang relative. Dengan cara ini, maka diharapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi dan memungkinkan klien mampu memperoleh pemahaman atas sifat-sifat dari fiksasi-fiksasi, konflik-konflik, atau deprivasi-deprivasinya, serta mengatakan kepada klien suatu pemahaman mengenai pengaruh masa lalu terhadap kehidupannya saat ini (Corey, 1995).


DAFTAR REFERENSI :
Ø  Atkinson, R. L., Atkinson, R.C & Hilgard, E.R. (1993). Pengantar psikologi. Alih bahasa: Nurjanah Taufiq. Jakarta: Erlangga.
Ø  Chaplin, C.P. (1995). Kamus lengkap psikologi. Penerjemah: Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Pers.
Ø  Corey, G. (1995). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Eresco.
Ø  Riyanti, Dwi. B.P & Hendro Prabowo. (1998). Seri diklat kuliah: psikologi umum 2. Jakarta: Gunadarma.
Ø   Semiun, Yustinus. (2006). Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius.


Nama : Zahara Safitri
NPM  : 19513648
Kelas  : 3PA05