TERAPI PSIKOANALISIS
(SIGMUND FREUD)
Dasar dari terapi psikoanalisis adalah
konsep dari Sigmund Freud dan beberapa pengikutnya. Tujuan dari psikoanalisis
adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari serta mekanisme
pertahanan (defense mechanism) yang
digunakan untuk mengendalikan kecemasan. Apabila motif dan rasa takut yang
tidak disadari telah diketahui maka hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara
yang lebih rasional dan realistis. Freud meringkas tujuan psikoterapi dengan
berkata “Dimana ada id, di situ akan ada ego”, maksudnya adalah psikoanalisis
dapat membantu memancarkan kesadaran (yang diwakilkan oleh ego sadar) pada
pekerjaan-pekerjaan id. Namun, Freud tidak mengharapkan bahwa klien harus
berusaha menyadari semua bahan yang direpresikan. Tujuannya adalah hanya untuk
menggantikan tingkah laku defensif dengan tingkah laku yang lebih adaptif. Dengan
berbuat demikian, klien dapat menemukan kepuasaan tanpa menghukum dirinya
sendiri atau orang lain.
Dalam bentuknya yang asli, terapi
psikoanalisis bersifat intensif dan panjang lebar. Terapis dan klien umumnya
bertemu selama 50 menit beberapa kali dalam seminggu sampai beberapa tahun.
Oleh karena itu agar dapat lebih efisien, maka pertemuan dapat dilakukan dengan
pembatasan waktu dan penjadwalan waktu yang tidak terlalu sering (Atkinson
dkk., 1993).
Konsep-Konsep Utama Dalam Terapi Psikoanalisis :
a.
Struktur Kepribadian :
-
Id : Tidak memiliki kontak yang nyata
dengan dunia nyata, id berfungsi untuk memperoleh kepuasan sehingga disebut
sebagai prinsip kesenangan.
-
Ego : Disebut juga sebagai prinsip
kenyataan. Ego berhubungan langsung dengan dunia nyata, ego juga memiliki peran
untuk mengambil keputusan dalam kepribadian. Ego menjadi penengah atau penyeimbang
antara id dan superego.
-
Super Ego : Disebut sebagai prinsip ideal.
Kepribadian yang terlalu didominasi oleh super ego akan merasa selalu bersalah,
rasa inferiornya yang besar.
b.
Kesadaran dan Ketidaksadaran
-
Konsep ketidaksadaran
Mimpi
yang merupakan pantulan dari kebutuhan, kenginan dan konflik yang terjadi dalam
diri, salah ucap atau lupa, sugesti pasca hipnotik, materi yang berasal dari
teknik asosiasi bebas, materi yang berasal dari teknik proyektif.
c.
Kecemasan
Merupakan
suatu keadaan tegang atau takut yang mendalam akan peristiwa yang akan terjadi/belum
terjadi. Kecemasan juga timbul akibat konflik dari id, ego, dan superego.
Kecemasan terdiri dari 3 jenis yaitu kecemasan neurosis yaitu cemas akibat
bahaya yang belum diketahui, kecemasan moral yaitu cemas akibat konflik antara
kebutuhan nyata/realistis dan perintah superego, dan yang ketiga adalah
kecemasan realistis yaitu kecemasan yang terkait dengan rasa takut misalnya
kecemasan akan bahaya. Fungsinya memperingatkan apabila ada ancaman bahaya.
Tujuan Terapi :
a. Mengungkapkan
konflik-konflik yang dianggap mendasari munculnya ketakutan yang ekstrem dan
reaksi menghindar yang menjadi karakteristik gangguan ini.
b. Membentuk
kembali struktur karakter individu dengan membuat pasien sadar akan hal yang
selama ini tidak disadarinya.Focus pada upaya mengalami kembali pengalaman masa
anak-anak.
Peran Terapis :
a. Membantu
pasien dalam mencapai kesadaran diri, kejujuran, keefektifan dalam melakukan
hubungan personal dalam menangani kecemasan secara realistis.
b. Membangun
hubungan kerja dengan pasien, dengan banyak mendengar & menafsirkan
c. Terapis
memberikan perhatian khusus pada penolakan-penolakan pasien
d. Mendengarkan
kesenjangan & pertentangan pada cerita pasien
Teknik-Teknik Psikoanalisis
Teknik-teknik psikoanalisis disesuaikan
untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah
laku klien, serta untuk memahami makna dari beberapa gejala. Kemajuan
teraupetik diawali dari pembicaraan klien kea rah katarsis, pemahaman, hal-hal
yang tidak disadari, sampai dengan tujuan pemahaman masalah-masalah intelektual
dan emosional. Untuk itu diperlukan teknik-teknik dasar psikoanalisis, yaitu :
a. Asosiasi
Bebas
Asosiasi bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisis.
Terapis meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan
renungan-renungan sehari-hari, serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang
muncul dan melintas dalam pikiran. Caranya adalah dengan mempersilahkan klien
berbaring di atas balai-balai atau sofa sementara terapis duduk dibelakangnya,
sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir
dengan bebas. Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali
pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan
dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis.
Katarsis hanya menghasilkan perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman
menyakitkan pada klien, tetapi tidak memainkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995).
b. Penafsiran
(Interpretasi)
Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis
asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi, dan transferensi. Caranya adalah
dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan
klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi
bebas, resistensi, dan hubungan teraupetik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran
ini adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses
pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh
terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalangnya alam bawah sadar
pada diri klien (Corey, 1995).
c. Analisis
Mimpi
Analisis mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk
nengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa
area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan
melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres
akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi
merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut
hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Beberapa
motivasi sangat tidak dapat diterima oleh seseorang, sehingga akhirnya
diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang
berbeda.
Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifest.
Isi laten terdiri atas motif-motif
yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan
dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar
(yang merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi manifest yang lebih
dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpin sebagaimana adanya. Sementara
tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari
simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifest. Di dalam proses terapi, terapis
juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifest
impian untuk mengungkap makna-makan yang terselubung (Corey, 1995).
d. Resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan
mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas
dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan
pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi
dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai
pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat
jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut.
Dalam proses terapi, resistensi bukanlah sesuatu yang harus
diatasi, karena merupakan perwujudan dari pertahanan klien yang biasanya
dilakukan sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan
klien terhadap kecemasan, meski sebenarnya menghambat kemampuannya untuk
menghadapi hidup yang lebh memuaskan (Corey, 1995).
e. Transferensi
Resistensi dan transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi
psikoanalisis. Transferensi dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari
satu objek ke objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari
orangtua kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido
klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang
melekat dan kasih sayang pengganti. Seperti ketika seorang klien menjadi lekat
dan jatuh cinta pada terapis sebagi pemindahan dari orangtuanya (Chaplin,
1995).
Ketika dalam proses terapi ketika “urusan yang tidak selesai” (unfinished
business) masa lalu klien dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh
menyebabkan klien mendistorsi dan bereaksi terhadap terapis sebagaimana dia
beraksi terhadap ayah/ibunya. Dalam hubungannya dengan terapis, klien mengalami
kembali perasaan menolak dan membenci sebagaimana yang dulu dirasakan kepada orangtuanya.
Tugas terapis adalah membangkitkan neurosis transferensi klien dengan
kenetralan, objektivitas, keanoniman, dan kepasifan yang relative. Dengan cara
ini, maka diharapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dalam
terapi dan memungkinkan klien mampu memperoleh pemahaman atas sifat-sifat dari
fiksasi-fiksasi, konflik-konflik, atau deprivasi-deprivasinya, serta mengatakan
kepada klien suatu pemahaman mengenai pengaruh masa lalu terhadap kehidupannya
saat ini (Corey, 1995).
DAFTAR
REFERENSI :
Ø Atkinson,
R. L., Atkinson, R.C & Hilgard, E.R. (1993). Pengantar psikologi. Alih bahasa: Nurjanah Taufiq. Jakarta:
Erlangga.
Ø Chaplin,
C.P. (1995). Kamus lengkap psikologi.
Penerjemah: Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Pers.
Ø Corey,
G. (1995). Teori dan praktek konseling
dan psikoterapi. Bandung: Eresco.
Ø Riyanti,
Dwi. B.P & Hendro Prabowo. (1998). Seri
diklat kuliah: psikologi umum 2. Jakarta: Gunadarma.
Ø Semiun, Yustinus. (2006). Teori
Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius.
Nama : Zahara Safitri
NPM : 19513648
Kelas : 3PA05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar